KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Anak dengan Prilaku Insecure I”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian
mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus di Jurusan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (UNRAM).
Terima kasih kami
sampaikan kepada Ibu/Bapak Dosen yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas
ini sehingga kami
mengerti tentang Dasar-dasar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada kita semua
khususnya bagi kami.
Makalah ini memiliki banyak kekurangan sehingga kami mohon untuk kritik dan saran yang
sifatnya membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Terima
Kasih.
Mataram, 20 September 2015
( Kelompok Dasar-dasar
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus )
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... ......... 1
Daftar
Isi.............................................................................................................................. 2
BAB
I (Pendahuluan).......................................................................................................... 3
1.1
Latar Belakang......................................................................................................... 3
1.2
Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
1.3
Tujuan Penulisan...................................................................................................... 4
BAB
II (Pembahasan)......................................................................................................... 5
2.1
Anak yang Penakut…………………………………………….................... ......... 5
2.2
Anak yang Rendah Diri............................................................................................ 6
2.3
Anak yang Pemalu................................................................................................... 6
BAB
III (Penutup)……………………………………………………............................ 11
3.1
Kesimpulan............................................................................................................ 11
3.2
Saran...................................................................................................................... 11
Daftar
Pustaka................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai guru, kita
mungkin sering atau setidaknya pernah menjumpai satu atau beberapa anak didik
yang mempunyai karakter seperti penakut, rendah diri, pemalu. Oleh para
prefesional, prilaku tersebut sering disebut jenis prilaku “neurotik” namun dalam makalah ini, kita
akan menggunakan istilah yang lebih awam, yaitu inscure (perasaan tidak aman).
Istilah tersebut menggambarkan anak secara nyata memiliki kepercayaan diri yang
kurang, mereka pun sering kali memiliki perasaan takut dan cemas (Schaefer & Millman, 1981). Tentu
saja semua anak memiliki perasaan-perasaan tersebut namun derajatnya
berbeda-beda. Jika dialami secara serius, perasaan-perasaan tersebut tentu dapat
menghambat anak dalam berbagai hal. Sebagai contoh anak yang pemalu dan rendah
diri mungkin menjadi tidak berani mengacungkan jari untuk menjawab pertanyaan
guru sekalipun ia tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Jika tidak hati-hati
mencermati perilaku anak, bisa saja guru akan salah mengartikan perilaku anak
tersebut dan tentu saja hal itu tidak kita inginkan. Oleh karena itu,
pengenalan dan pendidikan sejak awal dapat membantu kita mengenali anak yang
memiliki prilaku-prilaku inscure.
Prilaku
insicure pada anak dapat dicegah dengan mengasuh anak dalam cara-cara yang
dapat meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan peradaptasi, dan optimisme anak.
Untuk itu, orang tua, guru, serta pihak-pihak yang terkait dengan anak harus
bekerja sama dan membantu anak untuk mengatasi perasaan-perasaannya tadi.
Dalam
makalah ini, kita akan mempelajari beberapa bentuk prilaku inscure. Karna cukup
banyaknya materi yang akan di bahas maka topik mengenai prilaku inscure ini
akan dipecah ke dalam dua. Makalah ini, kita hanya akan membahas tiga prilaku
incure, yaitu penakut, perasaan rendah diri, dan pemalu.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
pengertian anak yang penakut ?
2.
Sebutkan
karakteristik anak yang penakut ?
3.
Sebutkan
penanganan anak yang penakut ?
4.
Jelaskan
pengertian anak yang rendah diri ?
5.
Sebutkan
karakteristik anak yang rendah diri ?
6.
Sebutkan
penanganan anak yang rendah diri ?
7.
Jelaskan
pengertian anak yang pemalu ?
8.
Sebutkan
karakteristik anak yang pemalu ?
9.
Sebutkan
penanganan anak yang pemalu ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian anak yang penakut
2.
Mengetahui
karakteristik anak yang penakut
3.
Mengetahui
penanganan anak yang penakut
4.
Mengetahui
pengertian anak yang rendah diri
5.
Mengetahui
karakteristik anak yang rendah diri
6.
Mengetahui
penanganan anak yang rendah diri
7.
Mengetahui
pengertian anak yang pemalu
8.
Mengetahui
karakteristik anak yang pemalu
9.
Mengetahui
penanganan anak yang pemalu
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
ANAK YANG PENAKUT
2.1.1
Pengertian Anak yang Penakut
Takut adalah emosi yang
kuat dan tidak menyenangkan, yang disebabkan oleh kesadaran atau antisipasi
akan adanya suatu bahaya (Schaefer &
Millman, 1981). Rasa takut dipelajari tetapi ada pula ketakutan yang
bersifat instinkual. Anak-anak mengalami teror atau ketakutan yang tidak
beralasan dan sangat kuat merupakan hasil dari keadaan panik.
Secara umum
anak - anak takut pada kegelapan, hantu, orang asing, rasa takut di tinggalkan,
takut terhadap suara keras, dan situasi yang tidak di kenal. Secara lebih rinci, terdapat 3 faktor yang
diidentifikasikan sebagai sumber ketakutan pada masa kanak-kanak menurut (Schaefer,& millman, 1981) yaitu
sebagai berikut:
1. Luka fisik seperti racun, operasi,
perang, ketakutan untuk di culik.
2. Kejadian - kejadian alam, seperti
badai, gempa, gunung meletus, gelap, kematian,( ketakutan-ketakutan ini menurun
sejalan dengan bertambahnya usia ).
3. Stres psikis seperti melakukan kesalahan, tertekan, menghadapi
ujian, kejadian-kejadian sosial, sekolah dan kritik.
Sekurang-kurangnya
50% anak memiliki ketakutan umum terhadap anjing, situasi gelap, petir, dan
hantu, ketakutan sangat umum terjadi pada usia 2 – 6, antara usia 2 - 4 tahun,
ketakutan pada objek binatang, badai, situasi gelap, dan orang asing sangat
sering terjadi. Ketakutan-ketakutan ini berkurang pada usia 5 tahun dan hilang
pada usia 9 tahun. Dari usia 4 – 6 tahun, ketakutan imajiner, seperti ketakutan
terhadap hantu menonjol dan sampai puncaknya pada usia 9 tahun, dan kebanyakan menghilang
pada usia 10 tahun. Sebanyak 90% anak usia 6 tahun mengembangkan beberapa
ketakutan yang bersifat spesifik namun ketakutan itu hilang secara alami (Schaefer,& millman, 1981)
Ketakutan
terhadap hal-hal yang bersifat supranatural (seperti hantu, dan lain lain)
masih menjadi perhatian pada 20% anak usia 5 – 11 tahun. Bahaya-bahaya pisik
merupakan ketakutan yang khas pada anak usia 10 tahun ke atas. Data statistik
yang pernting berkaitan dengan sekolah menyebutkan bahwa 20% anak merasa takut
terhadap tes dan mengerjakan tes dengan buruk karena rasa takut tersebut. Dari
segi pandang positif kita dapat melihat bahwa ketakutan meningkatkan pertahanan
dengan menjadikan seseorang lebih waspada terhadap bahaya dan mempersiapkan
seseorang untuk melindungi diri sendiri. Secara fisiologis, aliran adrenalin
menyiapkan tubuh untuk mengambil tindakan berupa prilaku menghadapi objek yang
ditakuti atau sebaliknya (Schaefer,&
millman, 1981)
Mimpi sangat
sering mencerminkan ketakutan. Jika anak mendiskusikan mimpi mereka, kita tentu
akan dapat memahami apa yang menakutkan bagi mereka.
2.1.2
Karakteristik
Anak yang Pemalu
Menurut suran
dan rizzo (1979), ketakutan dapat membuat anak menghindari situasi
kompetitif. Ketakutan juga dapat mengganggu hubungan anak dengan teman
sebayanya.
2.1.3
Penanganan
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat anda
lakukan untuk mengatasi ketakutan yang mungkin dialami oleh anak didik anda (Schaefer,& millman, 1981)
1.
Bermain
Bermain merupakan sebuah cara alami untuk
mengendalikan perasaan dan kejadian-kejadian. Dengan bermain, anak belajar
bagaimana mengendalikan rasa takutnya karena ketakutan dapat dikendalikan dalam
situasi bermain. Sebagai contoh, anak takut kepada air dapat diajak untuk
bermain air. Dengan bermain air, anak akan menjadi terbiasa dengan air. Bermain
pura-pura juga merupakan salah satu cara untuk membantu anak mengendalikan
ketakutannya secara memuaskan dan konstruktif. Bermain pura-pura sangat efektif
ketika ketakutan diantisipasi dan anak disiapkan secara tepat. Dalam hal ini,
anak dapat memerankan kejadian yang akan menimbulkan rasa takut tersebut.
Sebagai contoh, untuk mengantisipasikan ketakutan anak terhadap dokter gigi
yang akan memerikasa gigi anak di sekolah, kita dapat mengajak anak bermain
pura-pura menjadi pasien dan dokter gigi. Selain bermain peran, ada baiknya di
sediakan pula buku-buku bergambar untuk mengilustrasikan bagaimana anak mampu
mengendalikan situasi yang menakutkan baginya, misalnya buku yang bertema
tentang pergi kedokter gigi. Jika buku-buku tersebut tidak tersedia, kita dapat
membuat cerita sendiri untuk disampaikan kepada anak-anak.
2.
Menunjukkan
Empati dan Dukungan
Jika anak menilai kita sebagai orang yang mampu
memahami dan menolong, mereka akan lebih mampu menghadapi situasi yang
menakutkan. Perhatian dan pernghagaan dapat meningkatkan rasa aman pada anak.
Kita dapat menunjukkan empati dengan cara memahami bagaimana anak berpikir dan
merasa tentang hal yang ditakutinya. Cara yang sangat lansung memberikan anak
empati adalah dengan memberikan anak kebebasan untuk berfikir dan merasa
tentang apa pun. Ketika anak mengespresikan rasa takutnya, kita seharusnya menerima ketakutan-ketakutanya
dan membantu anak. Kita sering membutuhkan bantuan untuk memahami dan memberi
makna pada kejadian-kejadian yang mereka alami. Sebagai contoh, kita dapat
mengatakan “Anak-anak memang banyak yang
takut terhadap bunyi petir. Tetapi tidak apa-apa. Nanti kamu akan belajar
bagaimana petir itu bisa terjadi dan kamu tidak akan takut lagi”. Pikiran
atau kejadian yang menakutkan anak seharusnya didiskusikan sesegera mungkin.
Diskusikan sebaiknya untuk di tujukan untuk memperbaiki kecendrungan anak yang
sering melebih-lebihkan ataupun mengubah pemahamannya mengenai hal yang
ditakutinya.
3.
Mengekspos
Situasi yang menakutkan pada anak
Anak yang takut terhadap dokter dapat diajak untuk
mengunjungi sebuah rumah sakit. Anak yang takut terhadap petir dapat diajak
bersama-sama untuk menirukan suara petir, disertai dengan penjelasan yang
dipahami anak dan dapat mengatasi ketakutan anak.
4.
Menjadi
Model
Sebagai guru, kita akan menjadi model bagi anak didik
kita. Anak belajar untuk tidak takut dari orang yang juga tidak takut dan mampu
mengendalikan situasi. Dengan demikian, anak memperoleh pemahaman lewat
pengamatannya, bahwa apa yang mereka takuti sebenarnya merupakan sesuatu yang
aman.
5.
Memberi Reward
Kita harus sensitif terhadap kesiapan anak berubah dan
tumbuh menjadi lebih berani. Untuk itu, pujilah sekecil apapun setiap langkah
keberanian yang dilakukan anak. Selain pujian, reward reward kongkret juga
efektif bagi anak, misalnya, dengan memberikan cap stempel atau stiker atas
keberanian anak.
2.2
ANAK YANG
RENDAH DIRI
2.2.1 Pengertian Anak yang Rendah Diri
Dalam pengertian
sehari-hari, orang sering menyebut anak yang memiliki perasaan rendah diri
dengan sebutan minder. Perasaan rendah diri sendiri berkaitan dengan konsep
harga diri (self esteem). Rasa rendah
diri adalah keadaan emosi yang mengakibatkan munculnya berbagai perasaan
negatif seperti kegelisahan, rasa tidak aman, rasa tidak mampu, takut gagal dan
sebagainya.
Orang yang menderita Inferioroty complex, benar-benar merasa
diri inferior, sehingga muncul
perasaan gelisah, tidak aman, tidak ada apa-apanya, takut, tidak percaya diri,
tidak tahu persis apa sebabnya. Orang yang mengalami rasa rendah diri, entah
sadar atau tidak sadar akan tampak dari :
·
Tanda nyata, misalnya :
keringat dingin, gemetaran, kata terputus-putus, tidak berani bertatapan mata,
serta tidak berani bicara.
·
Tanda tidak nyata,
misalnya : selalu berpakaian bagus tanpa itu merasa kurang diterima, selalu
menyanggah pembicaraan sebab takut dianggap tidak tahu apa-apa, mencari
kesibukan di tengah pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan rasa aman dan
dibutuhkan.
Dengan demikian, anak yang rendah diri adalah anak yang memberi penilaian
yang rendah terhadap dirinya, termauk kompetensi-kompetensi yang dimilikinya.
2.2.2 Karakteristik Anak yang Rendah diri
Anak yang rendah diri tidak optimis terhadap hasil
dari usaha mereka. Mereka merasa tidak mampu, pesimis, dan mudah kecil hati.
Segala sesuatu selalu dilihat salah. Anak mudah menyerah dan sering kali merasa
diintimedasi. “jelek” atau “tidak bisa apa-apa” merupakan kata-kata
yang sering digunakan untuk menggambarkan diri mereka. Frustasi dan merasa
kurang dapat dikendalikan dan pada gilirannya sering menghasilkan prilaku Balas
dendam terhadap orang lain atau dirinya sendiri. Sangat di sayangkan bahwa
prilaku mereka mengarahkan orang lain untuk memandang mereka secara negatif
sebagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Anak-anak yang merasa gagal
sering merasa bahwa reward
(penghargaan) yang mereka terima di sebabkan oleh keberuntungan dan adanya
kesempatan, bukan hasil dari tindakan mereka sendiri padahal reward dapat
menjadi sesuatu yang efektif jika anak percaya bahwa reward tersebut didapat karena karakteristik dan tingkah laku
mereka. Perasaan bahwa reward yang
diterima disebabkan oleh karakteristik dan tingkah lakunya sendiri mengarah
pada apa yang disebut sebagai “internal
locus of control”. Anak yang merasakan adanya hubungan sebab-akibat antara
tingkah lakunya dan reward. Perasaan
kontrol internal ini biasanya meningkat dengan bertambahnya usia dan prestasi
seseorang. Anak secara berangsur-angsur lebih mengembangkan rasa percaya diri
dan merasa lebih mandiri dan bebas (Schaefer,&
millman, 1981)
2.2.3 Penanganan Anak yang Rendah Diri
Ada sejumlah hal yang dapat kita lakukan untuk
mengatasi rasa rendah diri anak (Schaefer,&
millman, 1981)
1.
Meningkatkan Pemahaman Diri
Anak diberi pengertian bahwa tidak ada orang yang
sempurna dan semua memiliki kekuatan dan kekurangan yang berbeda-beda
2.
Mendukung Kompetensi dan Kemandirian Anak
Anak perlu dilatih untuk
melakukan keterampilan yang sesuai dengan usianya dan dijamin bahwa ia akan
memperoleh perasaan aman dalam proses menguasai keterampilan tersebut. Jika
anak menghadapi masalah, beri ia dorongan untuk berpikir, serta berikan bantuan
jika hal itu benar-benar ia butuhkan.
Ada beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri anak diantaranya : meminta
anak untuk memberikan solusi alternatif terhadap suatu permasalahan sederhana,
memperlihatkan sejumlah gambar dan meminta anak untuk menceritakan dan menilai
situasi yang ada dalam gambar tersebut. Untuk itu dengarkanlah secara seksama
penuturan anak, serta berikan dukungan dan menghargai pendapat anak. Dapat juga
meberikan solusi yang mungkin kepada anak untuk mangatasi suatu persoalan dan
meminta anak untuk memilih solusi mana yang lebih baik.
3.
Menyediakan Kehangatan dan Penerimaan
Dukungan emosional
maerupakan hal yang penting karena anak membutuhkan perasaan aman, yaitu
perasaan bahwa kita berada di dekatnya. Mengekspresikan optimisme anda terhadap
apa yang sedang dilakukan anak, misalnya dengan mengatakan “ya bagus, kamu pasti bisa!”
4.
Fokus pada Hal-hal Positif yang dapat dilakukan Anak
Perlu mengenali dan
mendukung kekuatan anak. Fokuskan pada kelebihan dan bukan pada
kekuatan/kelemahan anak. Catatlah hal-hal yang baik tentang anak, baik
keterampilan maupun usaha-usaha yang dilakukannya.
5.
Menyediakan Pengalaman yang Konstrukti
Merencanakan
bermacam-macam kegiatan dan menggunakan cara-cara yang tepat untuk menjamin
agar anak mau berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Pengalaman konstruktif
hendaknya dibuat secara realisasi, dengan tujuan yang dapat dicapai.
6.
Meningkatkan Percaya
Diri Anak
Keprcayaan diri
berangsur-angsur ditingkatkan dengan pengalaman keberhasilan yang berulang.
Buatlah tugas yang sebisa mungkin dapat diselesaikan oleh anak dan ajari anak
untuk mentoleransikan kegagalan. Dengan memberi tahu anak bahwa kegagalan lebih
baik daripada tidak mau mencoba sama sekali .
7.
Memberikan Reward
(Penghargaan)
Setiap kali anak
menunjukan sikap optimisme dan tidak mudah kecil hati, beri ia reward yang
dapat memperkuat perilakunya. Salah satu bentuk rewad adalah dengan memberikan
sesuatu yang disukai anak.
2.3
ANAK YANG PEMALU
2.3.1 Pengertian Anak yang Pemalu
Anak yang pemalu adalah anak yang breaksi secara negatif terhadap stimulus
baru serta menarik diri terhadap stimulus tersebut (Berk, 2000). Menurut Kagan
(dalam Berk, 2000), pada anak yang
pemalu, stimulus baru sangat cepat membangkitkan amygdala (struktur otak dalam
atau inner brain structure yang mengontrol reaksi menghindar) dan hubungannya
dengan cerebral cortex dan sistem
saraf simpatis, yang membuat tubuh bersiap-siap untuk bertindak menghadapi
ancaman.
2.3.2 Karakteristik Anak yang
Pemalu
Anak yang pemalu sering
menghindari orang lain dan biasanya mudah merasa takut, curiga, hati-hati, dan
ragu-ragu untuk melakukan sesuatu. Mereka umumnya menarik diri dalam
berhubungan dengan orang lain. Dalam situasi sosial, mereka biasanya tidak
mengambil inisiatif, sering diam, berbicara dengan suara pelan, dan menghindari
kontak mata. Orang sering melihat mereka sebagai anak yang mudah bosan dan
sering kali dihindari sehingga makin meningkatkan rasa malu anak. Karena anak
yang pemalu tjarang membuat masalah, mereka sering tidak diperhatikan
(khususnya di sekolah). Dalam menghadapi situasi yang sulit, anak yang pemalu
akan menarik diri dan akan meninggalkan tempat. Anak usia prasekolah dan usia
sekolah pemalu mempunyai kesulitan besar untuk berpartisipasi dengan orang
lain. Secara umum, periode pemalu yang normal terjadi pada usia 5 atau 6 bulan,
dan berikutnya terjadi lagi pada usia 2 tahun (Schaefer,&
millman, 1981)
Beberapa
anak yang pemalu tampak kurang ramah dan kurang banyak bicara pada orang lain.
Ada pula anak pemalu yang merasa senang dengan kegiatan soliter, misalnya,
menyenangi permainan atau kegiatan bermain yang dilakukannya sendiri. Anak yang
pemalu sering merasa self-conscius (sadar akan dirinya sendiri), berkomunitas
secara buruk, dan tidak menggambarkan dirinya dengan baik. Mereka merasa tidak
nyaman, sering merasa cemas, menjadi gelisah, dan ingin meninggalkan situasi
sosial. Mereka sering merasa berbeda dan lemah (inferior), mempunyai keyakinan bahwa orang lain berpikir buruk
tentang diri mereka, dan merasa bahwa kontak sosial akan menghasilkan
pengalaman yang sangat negatif. Ketakutan terhadap penilaian negatif ini,
sering disertai oleh prilaku sosial yang buruk, seperti menjadi salah tingkah
dan sulit berbicara. Banyak anak pemalu tidak berpartisipasi di sekolah atau
dalam lingkungan tetapi tindakannya di rumah berbeda sekali. Situasi lebih
menjadi lebih serius jika di rumah ternyata pemalu juga (Schaefer,& millman, 1981).
Anak yang pemalu sering mempunyai
pengalaman yang kurang dalam keterampilan sosial. Mereka kurang menunjukka
minat terhadap orang lain, tidak melakukan dan menerima komunikasi, atau tidak
menunjukkan simpati dan perhatian terhadap orang lain. Kondisi itu semua tentu
dapat mencegah orang lain untuk melihat kualitas positif yang dimiliki anak.
Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk bertemu dengan orang baru atau
menikmati pengalaman baru. Oleh karena itu mereka menerima sedikit pujian dan
kurang dilihat oleh guru atau teman. Salah satu situasi yang sulit dihadapi
oleh anak pemalu adalah situasi pesta (Schaefer,&
millman, 1981).
2.3.3
Penanganan
Anak yang Pemalu
Hal-hal yang dapat anda lakukan
untuk membantu anak didik yang memiliki sifat pemalu (Schaefer,& millman, 1981).
1.
Memdukung
dan memberi reward terhadap sosialisasi yang dilakukan anak
Berikan senyum atau komentar setiap
kali anak bermain atau berbicara dengan teman, misalnya “senang ya bisa bermain
bersama”. Jangan biarkan anak menyendiri dalam waktu lama namun jangan pula
dengan khusus menemani dia. Dengan menemani anak yang sedang menyendiri, kita
akan semakin memperkuat perilakunya untuk tidak bersosialisasi dengan orang
lain. Bantulah anak untuk memahami kejadian sosial yang ada. Jelaskan secara
sederhana, dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, bagaimana orang lain
merasa, berfikir, dan bertingkah laku sehingga prilaku orang lain dapat
dipahami dengan lebih baik dan tidak diartikan secara salah. Ajari anak
bagaiman cara bertindak dalam situasi dengan cara yang tepat untuk usianya.
Salah satu cara me-reward prilaku anak adalah dengan
memberinya beberapa poin atau gambar binatang dalam sebuah buku khusus reward
agar ia tertarik untuk melakukan sosialisasi. Sistem poin hendaknya disusun
sehingga prilaku yang lebih sulit (misalnya bicara dengan beberapa teman) mendapat
poin yang lebih besar daripada prilaku yang mudah (misalnya, berbicara dengan
hanya satu teman). Poin dapat di tukar dengan sesuatu yang menyenangkan bagi
anak, misalnya pensil atau stiker.
2.
Mendukunga
Kepercayaan Diri dan Sikap yang Wajar
Anak sebaiknya
didukung dan dipuji untuk kepercayaan dirinya dan tindakannya yang wajar. Ajari
anak untuk menjadi dirinya sendiri dan mengekspresikan pendapatnya secara
terbuka.
3.
Menyediakan
Suasana yang Hangat dan Penuh Penerimaan
Perbolehkan
anak untuk mengatakan “tidak” untuk
situasi di mana ia boleh memilih. Hargai kemandirian anak, dengan demikian anak
dapat merasa bahwa mereka diterima, bahkan jika mereka tidak setuju dengan
kita. Anak akan merasa disayang dan aman ketika mereka dihargai walau apapun
pendapat mereka. Ajari anak bahwa mereka adalah bagian dari komunitas kelas,
oleh karena itu mereka dapat mencari dukungan kapan pun mereka perlu tanpa rasa
malu.
4.
Melatih
Keterampilan Sosial pada Anak
Latihan
keterampilan sosial dapat dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu langkah
instruksi, umpan balik, pengulangan prilaku, dan modelling instruksi terdiri
dari petunjuk kepada anak tentang cara spesifik atau khusus untuk berhubungan
dengan orang lain. Ajari anak untuk memberi dan menerima pujian, tersenyum,
menganggukkan kepala, mengucapkan terima kasih (jika diberi/dibantu sesuatu),
maaf (jika melakukan kesalahan), dan tolong (jika minta bantuan), serta
melakukan kontak mata setiap kali berkomunikasi dengan orang lain. Anak
hendaknya di ajarkan bahwa berbagi cerita dengan orang lain adalah sesuatu hal
yang menyenangkan dan berarti. Ajari pula anak untuk mendengar secara aktif
dengan cara menyimak dengan seksama apa yang sedang dibicarakan oleh lawan
bicara. Umpan balik membantu anak untuk memahami dan meningkatkan
keterampilannya. Modelling menunjukkan kepada anak bagaimana caranya
menjalankan keterampilan sosial yang telah diajarkan. Sebagai model, kita tentu
harus menunjukkan keterampilan-keterampilan yang telah diajarkan dengan baik.
Pengulangan prilaku terjadi ketika anak mengulangi prilaku sosial yang telah
dipelajari dengan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya karena adanya
intruksi, umpan balik dan modelling.
Salah satu
pendekatan yang dilakukan untuk melatih keterampilan sosial pada anak adalah
melalui kegiatan bermain peran (role play).
Macam-macam situasi dapat diperankan ketika anak bermain pura-pura (make-believe play). Interaksi pun secara
lansung dialami. Dalam kegiatan bermain tersebut, situasi yang diciptakan dapat
nampak nyata dan mereka pun merasa lebih aman menjalaninya daripada dari pada
dalam situasi nyata. Kita perlu mendukung sifat spontan anak dalam situasi
tersebut (misalnya, jika anak tiba-tiba saja mengatakan kepada kita “selamat pagi, Bu”). Pengertian peran (role reversal) adalah salah satu bentuk
yang sangat efektif untuk dilakukan. Kita dapat berganti peran dengan anak
melalui kegiatan bermain peran.
5.
Menyediakan
Agen Sosialisasi untuk Anak
Kita
sebaiknya memasangkan satu atau dua orang teman yang memungkinkan untuk menjadi
teman bermain bagi anak yang pemalu. Selanjutnya, perkenalkan anak untuk
bermain dalam kelompok yang lebih besar.
6.
Membuat
Kegiatan yang Merangsang Anak untuk Berinteraksi
Anak yang
kurang komunikatif dapat didorong untuk berkomunikasi melalui gambar karena
umumnya anak lebih seneng mendiskusi gambar. Selain itu, rancanglah
kegiatan-kegiatan lain yang membuat anak harus menolong dan berkomunikasi satu
sama lain, misalnya, menggambar bersama dalam satu kertas.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Takut adalah emosi yang kuat dan tidak menyenangkan,
yang disebabkan oleh kesadaran atau antisipasi akan adanya suatu bahaya.
2.
Kektakutan yang khas pada masa kanak-kanak meliputi
rasa takut terhadap gelap, takut ditinggalkan, takut terhadap suara keras,
badai, penyakit, hantu, binatang, orang asing, dan situasi yang tidak dikenal
3.
Ketakutan dapat membuat anak menghindari situasi
kompetitif dan hubungan dengan teman sebaya.
4.
Ketakutan dapat diatasi dengan melakukan kegiatan
bermain bersama anak, menunjukkan empati dan dukungan, mngekspos situasi yang
menakutkan kepada anak, menjadi model untuk anak, serta memberi penghargaan
terhadap keberanian yang dicapai anak.
5.
Anak yang merasa rendah diri adalah anak yang memberi
penilaian yang kurang terhadap dirinya, termasuk pada kompetisi-kompetisi yang
dimilikinya.
6.
Anak rendah diri memiliki perasaan tidak mampu,
pesimis, mudah kecil hati, mudah menyerah, serta memiliki internal locus of control.
7.
Rasa rendah diri anak dapat diatasi dengan
meningkatkan pemahaman diri anak mengenai kekuatan dan kelemahannya.
8.
Anak yang pemalu adalah anak yang breaksi secara
negatif terhadap stimulus baru serta menarik diri terhadap stimulus tersebut.
9.
Anak yang pemalu umumnya sering menghindari orang
lain, hati-hati dan ragu untuk melakukan sesuatu, serta kurang memiliki
keterampilan sosial.
10. Guru dapat
membantu anak yang pemalu untuk mengatasi rasa malunya dengan cara mendukung
dan memberi reward terhadap
sosialisasi yang dilakukan anak, mendukung kepercayaan diri.
3.2
Saran
Teramat penting untuk pendidik untuk mengetahui prilaku anak didik,
pendidik harus tanggap mengatasi masalah tingkah laku anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Berk, L. E. (2000). Child devalopment. 5th Ed. Boston: Allyn and Bacon.
2.
Schaefer, C.E dan Millman, H.L (1981). How to Help Children with Common Problems.
New York: Van Nostrand Reinhold Company.
3.
Suran, B.G. & Rizzo, J.V. (1979). Special Children: An Integrative Approach.
London: Scott, Foresman and Comapany.
4.
Vasta, R, Miller, S.A. dan Ellis, S. (2004). Child Psychology. 4th Ed. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.