Minggu, 11 Oktober 2015

Makalah Anak dengan Perilaku Insecure 1

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah  yang berjudul “Anak dengan Prilaku Insecure I”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (UNRAM).
Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu/Bapak Dosen yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas ini sehingga kami mengerti tentang Dasar-dasar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada kita semua khususnya bagi kami. Makalah ini memiliki banyak kekurangan sehingga kami mohon untuk kritik dan saran yang sifatnya membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Terima Kasih.


Mataram, 20 September 2015                        



( Kelompok Dasar-dasar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus )







DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... ......... 1
Daftar Isi.............................................................................................................................. 2
BAB I (Pendahuluan).......................................................................................................... 3
1.1              Latar Belakang......................................................................................................... 3
1.2              Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
1.3              Tujuan Penulisan...................................................................................................... 4

BAB II (Pembahasan)......................................................................................................... 5
2.1              Anak yang Penakut………………………………………….................... ......... 5
2.2              Anak yang Rendah Diri............................................................................................ 6
2.3              Anak yang Pemalu................................................................................................... 6

BAB III (Penutup)……………………………………………………............................ 11
3.1              Kesimpulan............................................................................................................ 11
3.2              Saran...................................................................................................................... 11
Daftar Pustaka................................................................................................................... 12



















BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Sebagai guru, kita mungkin sering atau setidaknya pernah menjumpai satu atau beberapa anak didik yang mempunyai karakter seperti penakut, rendah diri, pemalu. Oleh para prefesional, prilaku tersebut sering disebut jenis prilaku “neurotik” namun dalam makalah ini, kita akan menggunakan istilah yang lebih awam, yaitu inscure (perasaan tidak aman). Istilah tersebut menggambarkan anak secara nyata memiliki kepercayaan diri yang kurang, mereka pun sering kali memiliki perasaan takut dan cemas (Schaefer & Millman, 1981). Tentu saja semua anak memiliki perasaan-perasaan tersebut namun derajatnya berbeda-beda. Jika dialami secara serius, perasaan-perasaan tersebut tentu dapat menghambat anak dalam berbagai hal. Sebagai contoh anak yang pemalu dan rendah diri mungkin menjadi tidak berani mengacungkan jari untuk menjawab pertanyaan guru sekalipun ia tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Jika tidak hati-hati mencermati perilaku anak, bisa saja guru akan salah mengartikan perilaku anak tersebut dan tentu saja hal itu tidak kita inginkan. Oleh karena itu, pengenalan dan pendidikan sejak awal dapat membantu kita mengenali anak yang memiliki prilaku-prilaku inscure.
Prilaku insicure pada anak dapat dicegah dengan mengasuh anak dalam cara-cara yang dapat meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan peradaptasi, dan optimisme anak. Untuk itu, orang tua, guru, serta pihak-pihak yang terkait dengan anak harus bekerja sama dan membantu anak untuk mengatasi perasaan-perasaannya tadi.
Dalam makalah ini, kita akan mempelajari beberapa bentuk prilaku inscure. Karna cukup banyaknya materi yang akan di bahas maka topik mengenai prilaku inscure ini akan dipecah ke dalam dua. Makalah ini, kita hanya akan membahas tiga prilaku incure, yaitu penakut, perasaan rendah diri, dan pemalu.
1.2         Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian anak yang penakut ?
2.      Sebutkan karakteristik anak yang penakut ?
3.      Sebutkan penanganan anak yang penakut ?
4.      Jelaskan pengertian anak yang rendah diri ?
5.      Sebutkan karakteristik anak yang rendah diri ?
6.      Sebutkan penanganan anak yang rendah diri ?
7.      Jelaskan pengertian anak yang pemalu ?
8.      Sebutkan karakteristik anak yang pemalu ?
9.      Sebutkan penanganan anak yang pemalu ?





1.3         Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian anak yang penakut
2.      Mengetahui karakteristik anak yang penakut
3.      Mengetahui penanganan anak yang penakut
4.      Mengetahui pengertian anak yang rendah diri
5.      Mengetahui karakteristik anak yang rendah diri
6.      Mengetahui penanganan anak yang rendah diri
7.      Mengetahui pengertian anak yang pemalu
8.      Mengetahui karakteristik anak yang pemalu
9.      Mengetahui penanganan anak yang pemalu




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1         ANAK YANG PENAKUT

2.1.1   Pengertian Anak yang Penakut
Takut adalah emosi yang kuat dan tidak menyenangkan, yang disebabkan oleh kesadaran atau antisipasi akan adanya suatu bahaya (Schaefer & Millman, 1981). Rasa takut dipelajari tetapi ada pula ketakutan yang bersifat instinkual. Anak-anak mengalami teror atau ketakutan yang tidak beralasan dan sangat kuat merupakan hasil dari keadaan panik.
Secara umum anak - anak takut pada kegelapan, hantu, orang asing, rasa takut di tinggalkan, takut terhadap suara keras, dan situasi yang tidak di kenal. Secara lebih  rinci, terdapat 3 faktor yang diidentifikasikan sebagai sumber ketakutan pada masa kanak-kanak menurut (Schaefer,& millman, 1981) yaitu sebagai berikut:
1.    Luka fisik seperti racun, operasi, perang, ketakutan untuk di culik.
2.    Kejadian - kejadian alam, seperti badai, gempa, gunung meletus, gelap, kematian,( ketakutan-ketakutan ini menurun sejalan dengan bertambahnya usia ).
3.    Stres psikis seperti  melakukan kesalahan, tertekan, menghadapi ujian, kejadian-kejadian sosial, sekolah  dan kritik.

Sekurang-kurangnya 50% anak memiliki ketakutan umum terhadap anjing, situasi gelap, petir, dan hantu, ketakutan sangat umum terjadi pada usia 2 – 6, antara usia 2 - 4 tahun, ketakutan pada objek binatang, badai, situasi gelap, dan orang asing sangat sering terjadi. Ketakutan-ketakutan ini berkurang pada usia 5 tahun dan hilang pada usia 9 tahun. Dari usia 4 – 6 tahun, ketakutan imajiner, seperti ketakutan terhadap hantu menonjol dan sampai puncaknya pada usia 9 tahun, dan kebanyakan menghilang pada usia 10 tahun. Sebanyak 90% anak usia 6 tahun mengembangkan beberapa ketakutan yang bersifat spesifik namun ketakutan itu hilang secara alami (Schaefer,& millman, 1981)
Ketakutan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural (seperti hantu, dan lain lain) masih menjadi perhatian pada 20% anak usia 5 – 11 tahun. Bahaya-bahaya pisik merupakan ketakutan yang khas pada anak usia 10 tahun ke atas. Data statistik yang pernting berkaitan dengan sekolah menyebutkan bahwa 20% anak merasa takut terhadap tes dan mengerjakan tes dengan buruk karena rasa takut tersebut. Dari segi pandang positif kita dapat melihat bahwa ketakutan meningkatkan pertahanan dengan menjadikan seseorang lebih waspada terhadap bahaya dan mempersiapkan seseorang untuk melindungi diri sendiri. Secara fisiologis, aliran adrenalin menyiapkan tubuh untuk mengambil tindakan berupa prilaku menghadapi objek yang ditakuti atau sebaliknya (Schaefer,& millman, 1981)
Mimpi sangat sering mencerminkan ketakutan. Jika anak mendiskusikan mimpi mereka, kita tentu akan dapat memahami apa yang menakutkan bagi mereka.



2.1.2        Karakteristik Anak yang Pemalu
Menurut suran dan rizzo (1979), ketakutan dapat membuat anak menghindari situasi kompetitif. Ketakutan juga dapat mengganggu hubungan anak dengan teman sebayanya.

2.1.3        Penanganan
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat anda lakukan untuk mengatasi ketakutan yang mungkin dialami oleh anak didik anda (Schaefer,& millman, 1981)

1.        Bermain
Bermain merupakan sebuah cara alami untuk mengendalikan perasaan dan kejadian-kejadian. Dengan bermain, anak belajar bagaimana mengendalikan rasa takutnya karena ketakutan dapat dikendalikan dalam situasi bermain. Sebagai contoh, anak takut kepada air dapat diajak untuk bermain air. Dengan bermain air, anak akan menjadi terbiasa dengan air. Bermain pura-pura juga merupakan salah satu cara untuk membantu anak mengendalikan ketakutannya secara memuaskan dan konstruktif. Bermain pura-pura sangat efektif ketika ketakutan diantisipasi dan anak disiapkan secara tepat. Dalam hal ini, anak dapat memerankan kejadian yang akan menimbulkan rasa takut tersebut. Sebagai contoh, untuk mengantisipasikan ketakutan anak terhadap dokter gigi yang akan memerikasa gigi anak di sekolah, kita dapat mengajak anak bermain pura-pura menjadi pasien dan dokter gigi. Selain bermain peran, ada baiknya di sediakan pula buku-buku bergambar untuk mengilustrasikan bagaimana anak mampu mengendalikan situasi yang menakutkan baginya, misalnya buku yang bertema tentang pergi kedokter gigi. Jika buku-buku tersebut tidak tersedia, kita dapat membuat cerita sendiri untuk disampaikan kepada anak-anak.

2.        Menunjukkan Empati dan Dukungan
Jika anak menilai kita sebagai orang yang mampu memahami dan menolong, mereka akan lebih mampu menghadapi situasi yang menakutkan. Perhatian dan pernghagaan dapat meningkatkan rasa aman pada anak. Kita dapat menunjukkan empati dengan cara memahami bagaimana anak berpikir dan merasa tentang hal yang ditakutinya. Cara yang sangat lansung memberikan anak empati adalah dengan memberikan anak kebebasan untuk berfikir dan merasa tentang apa pun. Ketika anak mengespresikan rasa takutnya,  kita seharusnya menerima ketakutan-ketakutanya dan membantu anak. Kita sering membutuhkan bantuan untuk memahami dan memberi makna pada kejadian-kejadian yang mereka alami. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan “Anak-anak memang banyak yang takut terhadap bunyi petir. Tetapi tidak apa-apa. Nanti kamu akan belajar bagaimana petir itu bisa terjadi dan kamu tidak akan takut lagi”. Pikiran atau kejadian yang menakutkan anak seharusnya didiskusikan sesegera mungkin. Diskusikan sebaiknya untuk di tujukan untuk memperbaiki kecendrungan anak yang sering melebih-lebihkan ataupun mengubah pemahamannya mengenai hal yang ditakutinya.

3.        Mengekspos Situasi yang menakutkan pada anak
Anak yang takut terhadap dokter dapat diajak untuk mengunjungi sebuah rumah sakit. Anak yang takut terhadap petir dapat diajak bersama-sama untuk menirukan suara petir, disertai dengan penjelasan yang dipahami anak dan dapat mengatasi ketakutan anak.

4.        Menjadi Model
Sebagai guru, kita akan menjadi model bagi anak didik kita. Anak belajar untuk tidak takut dari orang yang juga tidak takut dan mampu mengendalikan situasi. Dengan demikian, anak memperoleh pemahaman lewat pengamatannya, bahwa apa yang mereka takuti sebenarnya merupakan sesuatu yang aman.

5.        Memberi Reward
Kita harus sensitif terhadap kesiapan anak berubah dan tumbuh menjadi lebih berani. Untuk itu, pujilah sekecil apapun setiap langkah keberanian yang dilakukan anak. Selain pujian, reward reward kongkret juga efektif bagi anak, misalnya, dengan memberikan cap stempel atau stiker atas keberanian anak.

2.2         ANAK YANG RENDAH DIRI

2.2.1   Pengertian Anak yang Rendah Diri
Dalam pengertian sehari-hari, orang sering menyebut anak yang memiliki perasaan rendah diri dengan sebutan minder. Perasaan rendah diri sendiri berkaitan dengan konsep harga diri (self esteem). Rasa rendah diri adalah keadaan emosi yang mengakibatkan munculnya berbagai perasaan negatif seperti kegelisahan, rasa tidak aman, rasa tidak mampu, takut gagal dan sebagainya.
Orang yang menderita Inferioroty complex, benar-benar merasa diri inferior, sehingga muncul perasaan gelisah, tidak aman, tidak ada apa-apanya, takut, tidak percaya diri, tidak tahu persis apa sebabnya. Orang yang mengalami rasa rendah diri, entah sadar atau tidak sadar akan tampak dari :
·         Tanda nyata, misalnya : keringat dingin, gemetaran, kata terputus-putus, tidak berani bertatapan mata, serta tidak berani bicara.
·         Tanda tidak nyata, misalnya : selalu berpakaian bagus tanpa itu merasa kurang diterima, selalu menyanggah pembicaraan sebab takut dianggap tidak tahu apa-apa, mencari kesibukan di tengah pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan rasa aman dan dibutuhkan.
Dengan demikian, anak yang rendah diri adalah anak yang memberi penilaian yang rendah terhadap dirinya, termauk kompetensi-kompetensi yang dimilikinya.
2.2.2   Karakteristik Anak yang Rendah diri
Anak yang rendah diri tidak optimis terhadap hasil dari usaha mereka. Mereka merasa tidak mampu, pesimis, dan mudah kecil hati. Segala sesuatu selalu dilihat salah. Anak mudah menyerah dan sering kali merasa diintimedasi. “jelek” atau “tidak bisa apa-apa” merupakan kata-kata yang sering digunakan untuk menggambarkan diri mereka. Frustasi dan merasa kurang dapat dikendalikan dan pada gilirannya sering menghasilkan prilaku Balas dendam terhadap orang lain atau dirinya sendiri. Sangat di sayangkan bahwa prilaku mereka mengarahkan orang lain untuk memandang mereka secara negatif sebagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Anak-anak yang merasa gagal sering merasa bahwa reward (penghargaan) yang mereka terima di sebabkan oleh keberuntungan dan adanya kesempatan, bukan hasil dari tindakan mereka sendiri padahal reward dapat menjadi sesuatu yang efektif jika anak percaya bahwa reward tersebut didapat karena karakteristik dan tingkah laku mereka. Perasaan bahwa reward yang diterima disebabkan oleh karakteristik dan tingkah lakunya sendiri mengarah pada apa yang disebut sebagai “internal locus of control”. Anak yang merasakan adanya hubungan sebab-akibat antara tingkah lakunya dan reward. Perasaan kontrol internal ini biasanya meningkat dengan bertambahnya usia dan prestasi seseorang. Anak secara berangsur-angsur lebih mengembangkan rasa percaya diri dan merasa lebih mandiri dan bebas (Schaefer,& millman, 1981)
                                                       
2.2.3   Penanganan Anak yang Rendah Diri
Ada sejumlah hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi rasa rendah diri anak (Schaefer,& millman, 1981)

1.        Meningkatkan Pemahaman Diri
Anak diberi pengertian bahwa tidak ada orang yang sempurna dan semua memiliki kekuatan dan kekurangan yang berbeda-beda
2.        Mendukung Kompetensi dan Kemandirian Anak
Anak perlu dilatih untuk melakukan keterampilan yang sesuai dengan usianya dan dijamin bahwa ia akan memperoleh perasaan aman dalam proses menguasai keterampilan tersebut. Jika anak menghadapi masalah, beri ia dorongan untuk berpikir, serta berikan bantuan jika hal itu benar-benar ia butuhkan.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri anak diantaranya : meminta anak untuk memberikan solusi alternatif terhadap suatu permasalahan sederhana, memperlihatkan sejumlah gambar dan meminta anak untuk menceritakan dan menilai situasi yang ada dalam gambar tersebut. Untuk itu dengarkanlah secara seksama penuturan anak, serta berikan dukungan dan menghargai pendapat anak. Dapat juga meberikan solusi yang mungkin kepada anak untuk mangatasi suatu persoalan dan meminta anak untuk memilih solusi mana yang lebih baik.

3.        Menyediakan Kehangatan dan Penerimaan
Dukungan emosional maerupakan hal yang penting karena anak membutuhkan perasaan aman, yaitu perasaan bahwa kita berada di dekatnya. Mengekspresikan optimisme anda terhadap apa yang sedang dilakukan anak, misalnya dengan mengatakan “ya bagus, kamu pasti bisa!”

4.        Fokus pada Hal-hal Positif yang dapat dilakukan Anak
Perlu mengenali dan mendukung kekuatan anak. Fokuskan pada kelebihan dan bukan pada kekuatan/kelemahan anak. Catatlah hal-hal yang baik tentang anak, baik keterampilan maupun usaha-usaha yang dilakukannya.

5.        Menyediakan Pengalaman yang Konstrukti
Merencanakan bermacam-macam kegiatan dan menggunakan cara-cara yang tepat untuk menjamin agar anak mau berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Pengalaman konstruktif hendaknya dibuat secara realisasi, dengan tujuan yang dapat dicapai.

6.         Meningkatkan Percaya Diri Anak
Keprcayaan diri berangsur-angsur ditingkatkan dengan pengalaman keberhasilan yang berulang. Buatlah tugas yang sebisa mungkin dapat diselesaikan oleh anak dan ajari anak untuk mentoleransikan kegagalan. Dengan memberi tahu anak bahwa kegagalan lebih baik daripada tidak mau mencoba sama sekali .

7.        Memberikan Reward (Penghargaan)
Setiap kali anak menunjukan sikap optimisme dan tidak mudah kecil hati, beri ia reward yang dapat memperkuat perilakunya. Salah satu bentuk rewad adalah dengan memberikan sesuatu yang disukai anak.

2.3         ANAK YANG PEMALU

2.3.1   Pengertian Anak yang Pemalu
Anak yang pemalu adalah anak yang breaksi secara negatif terhadap stimulus baru serta menarik diri terhadap stimulus tersebut (Berk, 2000). Menurut Kagan (dalam Berk, 2000), pada anak yang pemalu, stimulus baru sangat cepat membangkitkan amygdala (struktur otak dalam atau inner brain structure yang mengontrol reaksi menghindar) dan hubungannya dengan cerebral cortex dan sistem saraf simpatis, yang membuat tubuh bersiap-siap untuk bertindak menghadapi ancaman.

2.3.2   Karakteristik Anak yang Pemalu

Anak yang pemalu sering menghindari orang lain dan biasanya mudah merasa takut, curiga, hati-hati, dan ragu-ragu untuk melakukan sesuatu. Mereka umumnya menarik diri dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam situasi sosial, mereka biasanya tidak mengambil inisiatif, sering diam, berbicara dengan suara pelan, dan menghindari kontak mata. Orang sering melihat mereka sebagai anak yang mudah bosan dan sering kali dihindari sehingga makin meningkatkan rasa malu anak. Karena anak yang pemalu tjarang membuat masalah, mereka sering tidak diperhatikan (khususnya di sekolah). Dalam menghadapi situasi yang sulit, anak yang pemalu akan menarik diri dan akan meninggalkan tempat. Anak usia prasekolah dan usia sekolah pemalu mempunyai kesulitan besar untuk berpartisipasi dengan orang lain. Secara umum, periode pemalu yang normal terjadi pada usia 5 atau 6 bulan, dan berikutnya terjadi lagi pada usia 2 tahun (Schaefer,& millman, 1981)
     Beberapa anak yang pemalu tampak kurang ramah dan kurang banyak bicara pada orang lain. Ada pula anak pemalu yang merasa senang dengan kegiatan soliter, misalnya, menyenangi permainan atau kegiatan bermain yang dilakukannya sendiri. Anak yang pemalu sering merasa self-conscius (sadar akan dirinya sendiri), berkomunitas secara buruk, dan tidak menggambarkan dirinya dengan baik. Mereka merasa tidak nyaman, sering merasa cemas, menjadi gelisah, dan ingin meninggalkan situasi sosial. Mereka sering merasa berbeda dan lemah (inferior), mempunyai keyakinan bahwa orang lain berpikir buruk tentang diri mereka, dan merasa bahwa kontak sosial akan menghasilkan pengalaman yang sangat negatif. Ketakutan terhadap penilaian negatif ini, sering disertai oleh prilaku sosial yang buruk, seperti menjadi salah tingkah dan sulit berbicara. Banyak anak pemalu tidak berpartisipasi di sekolah atau dalam lingkungan tetapi tindakannya di rumah berbeda sekali. Situasi lebih menjadi lebih serius jika di rumah ternyata pemalu juga (Schaefer,& millman, 1981).
     Anak yang pemalu sering mempunyai pengalaman yang kurang dalam keterampilan sosial. Mereka kurang menunjukka minat terhadap orang lain, tidak melakukan dan menerima komunikasi, atau tidak menunjukkan simpati dan perhatian terhadap orang lain. Kondisi itu semua tentu dapat mencegah orang lain untuk melihat kualitas positif yang dimiliki anak. Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk bertemu dengan orang baru atau menikmati pengalaman baru. Oleh karena itu mereka menerima sedikit pujian dan kurang dilihat oleh guru atau teman. Salah satu situasi yang sulit dihadapi oleh anak pemalu adalah situasi pesta (Schaefer,& millman, 1981).
2.3.3   Penanganan Anak yang Pemalu
Hal-hal yang dapat anda lakukan untuk membantu anak didik yang memiliki sifat pemalu (Schaefer,& millman, 1981).

1.        Memdukung dan memberi reward terhadap sosialisasi yang dilakukan anak
Berikan senyum atau komentar setiap kali anak bermain atau berbicara dengan teman, misalnya “senang ya bisa bermain bersama”. Jangan biarkan anak menyendiri dalam waktu lama namun jangan pula dengan khusus menemani dia. Dengan menemani anak yang sedang menyendiri, kita akan semakin memperkuat perilakunya untuk tidak bersosialisasi dengan orang lain. Bantulah anak untuk memahami kejadian sosial yang ada. Jelaskan secara sederhana, dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, bagaimana orang lain merasa, berfikir, dan bertingkah laku sehingga prilaku orang lain dapat dipahami dengan lebih baik dan tidak diartikan secara salah. Ajari anak bagaiman cara bertindak dalam situasi dengan cara yang tepat untuk usianya.
Salah satu cara me-reward prilaku anak adalah dengan memberinya beberapa poin atau gambar binatang dalam sebuah buku khusus reward agar ia tertarik untuk melakukan sosialisasi. Sistem poin hendaknya disusun sehingga prilaku yang lebih sulit (misalnya bicara dengan beberapa teman) mendapat poin yang lebih besar daripada prilaku yang mudah (misalnya, berbicara dengan hanya satu teman). Poin dapat di tukar dengan sesuatu yang menyenangkan bagi anak, misalnya pensil atau stiker.

2.        Mendukunga Kepercayaan Diri dan Sikap yang Wajar
       Anak sebaiknya didukung dan dipuji untuk kepercayaan dirinya dan tindakannya yang wajar. Ajari anak untuk menjadi dirinya sendiri dan mengekspresikan pendapatnya secara terbuka.

3.        Menyediakan Suasana yang Hangat dan Penuh Penerimaan
       Perbolehkan anak untuk mengatakan “tidak” untuk situasi di mana ia boleh memilih. Hargai kemandirian anak, dengan demikian anak dapat merasa bahwa mereka diterima, bahkan jika mereka tidak setuju dengan kita. Anak akan merasa disayang dan aman ketika mereka dihargai walau apapun pendapat mereka. Ajari anak bahwa mereka adalah bagian dari komunitas kelas, oleh karena itu mereka dapat mencari dukungan kapan pun mereka perlu tanpa rasa malu.

4.        Melatih Keterampilan Sosial pada Anak
       Latihan keterampilan sosial dapat dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu langkah instruksi, umpan balik, pengulangan prilaku, dan modelling instruksi terdiri dari petunjuk kepada anak tentang cara spesifik atau khusus untuk berhubungan dengan orang lain. Ajari anak untuk memberi dan menerima pujian, tersenyum, menganggukkan kepala, mengucapkan terima kasih (jika diberi/dibantu sesuatu), maaf (jika melakukan kesalahan), dan tolong (jika minta bantuan), serta melakukan kontak mata setiap kali berkomunikasi dengan orang lain. Anak hendaknya di ajarkan bahwa berbagi cerita dengan orang lain adalah sesuatu hal yang menyenangkan dan berarti. Ajari pula anak untuk mendengar secara aktif dengan cara menyimak dengan seksama apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara. Umpan balik membantu anak untuk memahami dan meningkatkan keterampilannya. Modelling menunjukkan kepada anak bagaimana caranya menjalankan keterampilan sosial yang telah diajarkan. Sebagai model, kita tentu harus menunjukkan keterampilan-keterampilan yang telah diajarkan dengan baik. Pengulangan prilaku terjadi ketika anak mengulangi prilaku sosial yang telah dipelajari dengan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya karena adanya intruksi, umpan balik dan modelling.
       Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk melatih keterampilan sosial pada anak adalah melalui kegiatan bermain peran (role play). Macam-macam situasi dapat diperankan ketika anak bermain pura-pura (make-believe play). Interaksi pun secara lansung dialami. Dalam kegiatan bermain tersebut, situasi yang diciptakan dapat nampak nyata dan mereka pun merasa lebih aman menjalaninya daripada dari pada dalam situasi nyata. Kita perlu mendukung sifat spontan anak dalam situasi tersebut (misalnya, jika anak tiba-tiba saja mengatakan kepada kita “selamat pagi, Bu”). Pengertian peran (role reversal) adalah salah satu bentuk yang sangat efektif untuk dilakukan. Kita dapat berganti peran dengan anak melalui kegiatan bermain peran.

5.        Menyediakan Agen Sosialisasi untuk Anak
       Kita sebaiknya memasangkan satu atau dua orang teman yang memungkinkan untuk menjadi teman bermain bagi anak yang pemalu. Selanjutnya, perkenalkan anak untuk bermain dalam kelompok yang lebih besar.

6.        Membuat Kegiatan yang Merangsang Anak untuk Berinteraksi
       Anak yang kurang komunikatif dapat didorong untuk berkomunikasi melalui gambar karena umumnya anak lebih seneng mendiskusi gambar. Selain itu, rancanglah kegiatan-kegiatan lain yang membuat anak harus menolong dan berkomunikasi satu sama lain, misalnya, menggambar bersama dalam satu kertas.
























BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
1.      Takut adalah emosi yang kuat dan tidak menyenangkan, yang disebabkan oleh kesadaran atau antisipasi akan adanya suatu bahaya.
2.      Kektakutan yang khas pada masa kanak-kanak meliputi rasa takut terhadap gelap, takut ditinggalkan, takut terhadap suara keras, badai, penyakit, hantu, binatang, orang asing, dan situasi yang tidak dikenal
3.      Ketakutan dapat membuat anak menghindari situasi kompetitif dan hubungan dengan teman sebaya.
4.      Ketakutan dapat diatasi dengan melakukan kegiatan bermain bersama anak, menunjukkan empati dan dukungan, mngekspos situasi yang menakutkan kepada anak, menjadi model untuk anak, serta memberi penghargaan terhadap keberanian yang dicapai anak.
5.      Anak yang merasa rendah diri adalah anak yang memberi penilaian yang kurang terhadap dirinya, termasuk pada kompetisi-kompetisi yang dimilikinya.
6.      Anak rendah diri memiliki perasaan tidak mampu, pesimis, mudah kecil hati, mudah menyerah, serta memiliki internal locus of control.
7.      Rasa rendah diri anak dapat diatasi dengan meningkatkan pemahaman diri anak mengenai kekuatan dan kelemahannya.
8.      Anak yang pemalu adalah anak yang breaksi secara negatif terhadap stimulus baru serta menarik diri terhadap stimulus tersebut.
9.      Anak yang pemalu umumnya sering menghindari orang lain, hati-hati dan ragu untuk melakukan sesuatu, serta kurang memiliki keterampilan sosial.
10.  Guru dapat membantu anak yang pemalu untuk mengatasi rasa malunya dengan cara mendukung dan memberi reward terhadap sosialisasi yang dilakukan anak, mendukung kepercayaan diri.

3.2         Saran
Teramat penting untuk pendidik untuk mengetahui prilaku anak didik, pendidik harus tanggap mengatasi masalah tingkah laku anak didik.











DAFTAR PUSTAKA

1.      Berk, L. E. (2000). Child devalopment. 5th Ed. Boston: Allyn and Bacon.
2.      Schaefer, C.E dan Millman, H.L (1981). How to Help Children with Common Problems. New York: Van Nostrand Reinhold Company.
3.      Suran, B.G. & Rizzo, J.V. (1979). Special Children: An Integrative Approach. London: Scott, Foresman and Comapany.

4.      Vasta, R, Miller, S.A. dan Ellis, S. (2004). Child Psychology. 4th Ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.